Wednesday, July 27, 2011

HAMPARAN RUMPUT HIJAU

Pagi yang sangat cerah...

Tapak-tapak kaki kecil melangkah di sepanjang jalan yang lengang dan sepi. Tapak-tapi kaki tak beralas itu begitu ringan dan riang. Sedikitpun tak terlihat kelelahan di ekspresi wajah anak kecil itu. Yang ada hanyalah senyim riang karena pagi ini ia diajak ayahnya jalan-jalan di pagi hari. Dan pagi itu merupakan pagi yang terindah yang pernah ia lihat.


Lihatlah, bunga-bunga bermekaran di mana-mana. Merah, kuning, putih, ungu...betapa ingin ia memetik bunga-bunga itu dan menyimpannya di rumahnya supaya sewaktu-waktu bisa ia lihat lagi. Tapi ayahnya melarangnya. Katanya bunga-bunga itu akan merasa kesakitan kalau ia dipetik. Lebih baik bunga-bunga itu dibiarkan saja di tempat mana mereka sedang berada. Karena dengan begitu, bunga-bunga itu akan tetap tersenyum setiap kali ia melewatinya.

Daun-daun menganggung-angguk dengan ramahnya. Bahkan ada di antara mereka yang melambaikan tangan ke arahnya. Si bocah kecil tersenyum ke arah mereka dan ikut melambaikan tangannya. Ayahnya bertanya heran mengapa ia melambai-lambaikan tangannya. Si bocah kecil hanya mengedipkan matanya dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia malah berlari menuruni jalanan dan mulai mengagumi sesuatu hal yang menarik perhatiannya.

Ia berhenti di depan hamparan rumput hijau yang terhampar luas dan rapi. Butir-butir embun masih menyelimuti permukaan rerumputan itu, membiaskan warna-warni pelangi dari sinar matahari yang menerpanya. Begitu cantik dan mempesona. Tangan mungilnya mulai beraksi. Ujung-ujung jarinya mulai bergerak menyentuhi butiran-butiran bening itu. Sensasi sejuk seketika merasuki pori-pori kulit jarinya. Tidak puas dengan ujung-ujung jarinya saja, ia pun mulai membentangkan telapak tangannya di atas permukaan rerumputan itu dan mulai menyapukan permukaan telapak tangannya itu ke berbagai permukaan rerumputan itu. Sejuk, segar, mendamaikan...

Ayahnya yang melihat gerak-gerik anaknya itu hanya tertawa kecil. Ia teringat dulu, ketika ia masih kecil, ia juga sering melakukan hal yang sama. Gemerlap embun di hamparan rumput selalu membuatnya terpesona. Dan sensasi sejuknya air embun selalu membuatnya merasa damai. Entah kapan terakhir kali merasakan hal itu. Sepertinya sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tiba-tiba saja ia merasakan keinginan untuk menyentuh butiran-butiran embun itu lagi. Betapa ingin ia merasakan sensasi damai itu. Makanya, ia pun ikut berjongkok di sebelah bocah kecil itu dan mulai ikut melakukan apa yang dilakukan anaknya. Dan dalam sekejap, ia kembali merasakan sensasi yang sudah lama hampir ia lupakan. Ah, alangkah damainya dunia.

Bocah kecil itu menatap ayahnya dengan kedua bola matanya yang bening.

"Suatu hari nanti, ketika kamu beranjak dewasa, luangkanlah sedikit waktu untuk menikmati alam. Luangkanlah waktu untuk bersyukur akan segala hal yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Bahkan hal kecil seperti embun pun merupakan suatu anugerah yang luar biasa. Karena embun itu indah. Karena embun itu menyejukkan jiwa...."

Bocah itu tidak begitu paham makna perkataan ayahnya. Tapi ia tahu, ayahnya menyukai embun sebagaimana dirinya juga menyukainya. Maka senyumnya pun terkembang di kedua bibirnya yang mungil.

Sang ayah tersenyum. Ia tahu, anaknya tidak sepenuhnya memahami perkataannya. Namun ia tahu pasti, suatu saat nanti anaknya pasti dapat memahami perkataannya. Pasti...

Seekor burung pipit melintas di hadapan mereka. Si bocah menunjukkan jari telunjuknya ke arah burung itu.

Si ayah tertawa sambil merengkuh tubuh mungil si bocah.

"Ya, Nak. Burung pipit juga anugerah. Semua yang ada di sekeliling kita adalah anugerah. Bukankah Tuhan sangat murah hati?"

No comments:

Post a Comment